Oleh: Laode Rajab Saputra (Pengamat dan Praktisi Kepemudaan, Komunikasi, dan Kepemimpinan)
Belakangan ini, ada banyak perubahan signifikansi sosial dalam ranah budaya dan media. Perubahan ini berdampak pada semua aspek produksi budaya dan dalam berbagai kasus juga berdampak pada masyarakat sebagai akibat dari pengaburan refleksi dan realitas sosial itu sendiri (Potts, 2007). Perubahan ini dijelaskan oleh Adorno & Horkhiemer (1944) dalam pemikiran terkait industri budaya bahwa kebudayaan merupakan salah satu produk interaksi sosial manusia yang di industrialisasi dan dikomodifikasi dalam produksi media massa. Tanda – tanda industrialisasi dan komodifikasi ini tercemin melalui film, radio, dan majalah.
Produk media massa yang pada awalnya diproduksi dengan tujuan seperti menyebarkan pengetahuan pada akhirnya bergerak menjadi industri hiburan yang terbentuk dalam sebuah sistem yang seragam. Ini menjadi awal kelahiran suatu budaya yang tidak lagi bebas dan memiliki ciri khas, akan tetapi disamarkan demi tujuan ekonomi atau profitabilitas. Sehingga akan timbul sebuah asumsi di tengah masyarakat bahwa keseragaman tersebut adalah kebutuhan. Pemikiran ini akan melancarkan upaya untuk produksi massal untuk setiap produk budaya yang akan dipasarkan. Hal ini kemudian mendorong terciptanya monopoli dalam industri budaya. Baik para pegiat industri budaya dan masyarakat sama – sama ditarik ke dalam pusaran work pleasure yang ditekankan pada kesenangan masyarakat.
Pada dasarnya Adorno memiliki kekhawatiran bahwa semua industri ini didirikan oleh orang – orang yang berorientasi pada keuntungan, sehingga hal ini akan menggerus nilai kebudayaan yang sebenarnya. Karena tidak ada yang peduli untuk menghadirkan sebuah karya yang orisinil. Melalui teori tentang industri budaya ini, Adorno berupaya untuk menyadarkan masyarakat agar lebih rasional dalam memahami adanya penyesatan massal yang terselubung dalam industri budaya.
Dalam industri budaya, tujuan utama yang ingin dicapai ialah keseragaman yang menguntungkan industri dan tentunya harus diyakini sebagai kebutuhan oleh masyarakat. Produsen berupaya untuk melakukan pengulangan – pengulangan dalam tiap produk yang dipasarkan, agar masyarakat dapat membenarkannya sebagai sebuah standar. Hal ini terjadi di berbagai sektor media massa. Pandangan mengenai industri budaya ini dapat digunakan untuk melihat realita dibaik proses penciptaan suatu produk budaya dan pola – pola yang terdapat di dalamnya.
Pasar yang dikuasai pemodal sulit untuk melepaskan diri dari jaringan industri ini, karena industri ini tidak berjalan sendiri. Ada berbagai kepentingan yang harus terpenuhi seiring dengan kebutuhan industri media akan dukungan dan relasi dari berbagai sektor industri lainnya. Salah satu pola pengulangan yang dapat dikaji dengan menggunakan perspektif industri media, misalnya dapat diamati dalam program – program televisi seperti sinetron. Sebuah sinetron cenderung dibuat dengan pola dan standar yang sama. Misalnya dari segi tema dan alur atau jalan cerita. Pengulangan ini dilakukan dengan tujuan memperkuat manipulasi bahwa keseragaman adalah kebutuhan. Kesadaran individu pada akhirnya turut dikendalikan oleh sistem yang demikian.
Sinetron atau sinema elektronik menjadi salah satu produk industri budaya yang harus tunduk pada keseragaman yang dibentuk dalam jaringan sistem industri budaya. Istilah sinetron digagas oleh Soemarjono. Ia mendefinisikannya sebagai sebuah sinema (film) berseri yang ditonton melalui televisi (Nandi, 2014).
Sinetron dikatakan sebagai refleksi dari realitas, dimana para sineas membuat potret tentang lingkungannya (Rafdeadi, 2015). Ada beragam tema yang dapat disajikan sebagai ide cerita dalam sebuah sinetron. Untuk mempertahankan eksistensinya, televisi sekuat tenaga menyuguhkan tayangan – tayangan yang disukai penonton. Tujuannya tentu saja rating dan profit. Apabila sebuah tayangan sinetron mendapatkan respon yang baik (rating yang tinggi) maka tayangannya akan terus diperpanjang. Oleh karena itu, banyak produksi sinetron mengangkat tema – tema yang hampir serupa dengan tema – tema yang dicatatkan pernah meraih sukses dan berhasil menarik minat konsumen. Saat ini bahkan tidak sedikit sinetron dengan pola tayangan stripping atau tayang setiap hari. Waktu tayang sinetron-pun banyak yang mengambil waktu prime time di stasiun televisi swasta favorit masyarakat.
Ada berbagai tema yang disajikan dalam sinetron Indonesia. Umumnya, tidak jauh dari keseharian masyarakat Indonesia. Selain sinetron bertema religi, kehidupan sekolah, remaja dan kisah cintanya, tema lain yang digandrungi penonton Indonesia adalah sinetron keluarga, termasuk konflik dan dinamika di dalam kehidupan berumah tangga.
Sayangnya, sinetron – sinetron ini, betapapun baru dan menjanjikan dengan menampilkan bintang pilihan, tetap saja gagal menampilkan orisinalitas. Tayangan sinetron Indonesia secara seragam menampilkan tema, alur, konflik, dan karakterisasi yang sangat mirip, bahkan di stasiun televisi berbeda. Salah satu contoh yakni tayangan sinetron Ikatan Cinta di RCTI dengan sinetron berjudul Buku Harian seorang istri di SCTV.
Setidaknya terdapat 4 (empat) kemiripan utama dalam kedua sinetron ini. Pertama adalah tokoh utama wanita yang baik hati sama – sama harus mendekam di penjara atas kesalahan yang tidak pernah dilakukan. Kedua, hubungan cinta antara tokoh utama wanita dan pria diawali dengan kebencian. Motif awal para tokoh utama pria mendakti tokoh utama wanita dalam dua sinetron ini adalah balas dendam. Kesamaan lainnya, perkembangan cerita yang menggambarkan tumbuhnya cinta pada pasangan utama. Tokoh pria perlahan mulai menyukai tokoh wanita karena karakter yang lembut, polos, apa adanya, dan tentunya penyabar luar biasa. Persamaan terakhir dan paling umum dalam sinetron Indonesia yaitu tokoh utama pria, seorang pemuda sukses yang berasal dari keluarga kaya raya (Souisa, 2021).
Tentunya pengulangan – pengulangan ini memperkuat asumsi bahwa sinetron hari ini tidak lebih daripada sekadar produk industri budaya yang tidak hanya kekurangan orisinalitas, namun juga tidak memiliki nilai di luar nilai ekonomi. Pengulangan – pengulangan dalam berbagai aspek dalam produksi sinetron Indonesia semakin mempertegas pandangan Adorno bahwa industri media (termasuk sinetron) menciptkan produk – produk yang identik, seragam dengan tujuan memperoleh keuntungan (Adorno, 1944).
Sinetron Indonesia sebenarnya mendapatkan banyak kritik sosial dari masyarakat (Savitri, 2018). Sekali lagi, esensi pembelajaran yang seharusnya ada dalam sebuah sinetron telah lama pudar dan bahkan hampir tidak ada. Meski dikatakan sebagai refleksi dari kehidupan nyata, tidak sedikit cacat logika dalam cerita sinetron yang kemudian mematahkan pernyataan ini. Sinetron yang dimaksudkan untuk menyajikan kehidupan dan konflik yang dekat dengan keseharian masyarakat gagal untuk menampilkan keseharian itu secara natural.
Akan tetapi karena tidak memiliki banyak pilihan, sebagian besar tetap menonton tayangan ini. Produsen juga demikian tidak peduli dengan kritik dan saran selama dapat meraih keuntungan. Sebab mereka paham betul bahwa kekuatan industri telah mengakar di benak masyarakat. Produsen hiburan paham yakin bahwa produk mereka akan dikonsumsi meski dalam keengganan, karena tidak ada pilihan. Karena produk hiburna ini merupakan model mesin ekonomi yang selalu menopang massa di berbagai situasi (Adorno, 1944).
Keadaan lain yang memperburuk industri sinetron Indonesia adalah iklan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan sinetron juga ditopang oleh berbagai industri dari sektor lain, temasuk periklanan. Akan tetapi, dukungan iklan dalam sinetron Indonesia semakin menjatuhkan kualitas sinetron. Penempatan iklan kian tidak rasional. Iklan tidak lagi ditayangkan pada waktu jeda. Iklan mencemari sinetron dengan dimnuculkan sebagai bagian dari adegan sinetron meski tidak rasional. Misalnya, dalam sebuah sinetron dengan setting masa Kerajaan Padjajaran, penonton dibuat tercengang dengan adegan dimana salah seorang pemain muncul membawa sepiring mie instan (Nariswari, 2021).
Realita dalam produksi sinetron Indonesia ini menjadi bukti kuat bahwa sinetron Indonesia hanya mesin ekonomi pencetak uang. Sinetron sebagai produk industri media telah diproduksi secara massal dan berperan dalam menciptakan lingkaran manipulasi dan identitas palsu. Tidak ada lagi spontanitas yang disajikan dalam seni sungguhan yang berakar pada budaya sebenarnya. Semuanya hanyalah rancangan tidak natural untuk pemenuhan tujuan para kapitalis.
Sinetron Indonesia merupakan salah satu produk media massa yang dapat dikaji dengan menggunakan sudut pandang industri budaya. Berbagai realita yang berkaitan dengan produksi sinetron di Indonesia semakin mempertegas pandangan bahwa sinetron tidak lebih dari sekadar produk industri budaya yang dibuat tanpa adanya kepekaan terhadap orisinalitas dan nilai – nilai pembelajaran yang relevan dengan realita keseharian masyarakat.
Demi pencapaian tujuan para kapitalis yang tidak lain adalah profitabilitas, banyak sekali unsur dalam sinetron yang menjadikan kualitas sinetron Indonesia kian memburuk. Industrialisasi telah mendorong terjadinya berbagai pengulangan dengan penerapan standar dan pola – pola yang seragam dalam produksi sebuah sinetron di Indonesia. Seolah – olah tidak cukup buruk dengan berbagai keseragaman ini, sinetron Indonesia juga diperparah dengan berbagai cacat logika seperti alur cerita yang tidak masuk akal dan tidak dapat dijelaskan dengan nalar masyarakat umum. Hal ini tentu mematahkan pernyataan bahwa sinetron merupakan refleksi dari kehidupan nyata.
Tidak cukup berbagai kegagalan dalam penyajian unsur – unsur intrinsic dalam sinetron itu sendiri, iklan hadir memberikan efek destruktif lainnya. Selain penempatan iklan yang melalui tren – tren belakangan ini melekat sebagai adegan dalam sinetron, pemilihan produk juga tidak lagi menjadi perhatian. Mie instan kini dapat diiklankan dalam tayangan sinetron bertema kerajaan. Tentu saja setting waktu yang tidak masuk akal tidak menjadi soal.